Rabu, 04 Maret 2009

MULTI STIMULUS HASILKAN PENGALAMAN BELAJAR EFEKTIF


Mengingat masa kecilnya yang hanya menunjukkan kemampuan akademik pas-pasan, mungkin tidak ada orang menyangka bahwa Albert Einstein, akan bisa sukses dan terkenal dalam hidupnya. Apalagi menjadi mahaguru fisika dan penemu Teori Relativitas.

Cerita yang nyaris sama juga terjadi pada Thomas Alva Edison, penemu lampu listrik, yang bahkan di masa anak-anaknya disebut oleh sebagian guru di sekolahnya sebagai idiot karena kesukaran belajar sehingga sempat beberapa kali pindah sekolah.
Daftar tentang anak-anak yang sebetulnya termasuk cerdas namun tidak dapat berprestasi di sekolah ini pasti bisa Anda perpanjang sendiri dengan cerita dari lingkungan sekitar. Fenomena seperti ini sudah sangat lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Dari pengalaman praktiknya, Seto Mulyadi, pakar psikologi anak, mengungkapkan sering menjumpai anak semacam ini. Oleh orangtuanya anak-anak ini dikeluhkan sebagai bodoh, nakal, atau sulit belajar.
"Menurut penelitian ada sekitar 15%-40% anak, kebanyakan laki-laki, yang tampil kurang bersemangat, tidak tertarik pada mata pelajaran di sekolah, atau cenderung mudah putus asa," kata Seto yang juga dosen di Universitas Tarumanegara ini.
Dalam kondisi yang agak berbeda, pada prinsipnya orang dewasa sebenarnya juga mengalami pesoalan menipisnya motivasi belajar. Dengan bertambahnya usia ternyata terjadi learning shutdown yang menguras banyak tenaga kreatif manusia.
"Proses penghancuran kreativitas itu memang terjadi begitu anak masuk sekolah pada usia sekitar lima tahun. Saat awal ketika citra negatif diri mulai terbentuk akibat adanya kritik atau komentar negatif dari lingkungan," kata Seto.
Jack Canfield, psikolog yang meneliti masalah kepercayaan diri, berdasar risetnya tahun 1982 pada 100 anak menemukan bahwa setiap anak dalam sehari rata-rata mendapat 460 komentar negatif dan 75 komentar positif.
"Umpan balik negatif berkesinambungan ini sangat berbahaya karena setelah beberapa tahun sekolah 'kemadekan belajar' yang sesungguhnya benar-benar terjadi."
Anak-anak, lanjutnya, menghalangi atau menutup diri dari pengalaman belajarnya secara tidak sadar. Mulai saat itu, kata Canfield, belajar menjadi tugas berat dan keraguan semakin tumbuh dalam diri sehingga orang mulai mengurangi risiko sedikit demi sedikit.
Quantum Learning
Padahal menurut Marian Diamond, peneliti otak yang telah berpengalaman lebih dari 30 tahun, pada umur berapapun kemampuan mental manusia sebenarnya masih bisa dioptimalkan. "Makin terangsang otak dengan aktivitas intelektual dan interaksi lingkungan, makin banyak kemampuan yang berkembang."
Optimalisasi kemampuan mental manusia ini dapat dilihat dengan jelas pada anak yang belajar berjalan. Dia pasti jatuh bangun berkali-kali, namun tak ada orang mengkritik atau berkomentar negatif melainkan memberi dorongan dan semangat untuk mencoba lagi.
Dalam waktu satu tahun anak biasanya sudah sanggup berjalan. Padahal berjalan adalah sebuah rangkaian gerak yang sangat kompleks baik secara fisik maupun neurologis. Begitu pula saat usia dua tahun anak mulai belajar berbahasa.
Dalam lima tahun, anak mengetahui sekitar 90% dari semua kata yang biasa digunakan oleh orang-orang dewasa. Ajaibnya, semuanya bisa dilakukan tanpa mempelajari buku tatabahasa atau kurikulum yang sistematik.
Menurut Bobbi DePorter, pakar pendidikan, optimalisasi kemampuan mental itu bisa dimunculkan lagi melalui pendekatan baru yang disebut Quantum Learning (QL). "Pendekatan ini berupa seperangkat metode dan falsafah belajar yang efektif untuk semua tipe orang segala usia."
Pendekatan QL yang disebut juga accelerated learning (pemercepatan belajar), lanjut Bobbi, memadukan keterampilan dalam hidup, keterampilan akademik, dan prestasi mengatasi tantangan fisik untuk mencapai sukses.
Pendekatan QL berakar pada upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria, yang bereksperimen dengan suggestology atau suggestopedia. Prinsipnya sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar dan setiap detil apapun memberi sugesti positif maupun negatif.
Beberapa teknik yang diterapkan Lozanov untuk menimbulkan sugesti positif adalah mendudukan murid secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, dan menempel poster berisi kata mutiara untuk menyemangati dan menonjolkan informasi.
Pendekatan QL secara prinsip merupakan metode yang memungkinkan siswa mempelajari sesuatu secara cepat dengan upaya normal yang dibarengi kegembiraan. "Hal terpenting dari QL adalah belajar 'bagaimana cara belajar'."
Cara ini menyatukan unsur-unsur seperti hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional yang sekilas tampak tidak berhubungan namun ternyata bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Musik berperan
Pendekatan QL, ungkap Bobbi, mencakup aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP) yaitu suatu penelitian bagaimana otak mengatur informasi. Suatu program yang meneliti hubungan bahasa dan perilaku.
"Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa positif untuk meningkatkan tindakan positif yang merupakan faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif untuk belajar."
Selain itu selama belajar yang merupakan pekerjaan mental berat, lanjutnya, tekanan darah naik, frekuensi gelombang otak meningkat, dan otot-otot menjadi tegang. Hal ini tidak bisa diatasi dengan relaksasi meskipun cara ini bisa menguranginya.
"Namun dalam kondisi deeply relaxed sangat sukar untuk berkonsentrasi yang sangat diperlukan saat belajar. Sebaliknya sangat sukar melakukan relaksasi dalam keadaan konsentrasi penuh."
Penelitian Lozanov menunjukkan jenis musik tertentu bisa membuat orang menjadi setengah rileks sehingga tetap mampu berkonsentrasi atau relaxed focus. Jenis musik paling kondusif untuk belajar ini adalah musik barok seperti karya Bach, Handel, Pachelbel, dan Vivaldi.
Saat belajar, belahan otak kiri yang proses berpikirnya bersifat linear, logis, sekuensial, dan rasional, diaktifkan. Sedangkan proses berpikir otak kanan yang bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik, tidak.
"Belahan otak kanan yang dibiarkan inilah yang sering mengganggu konsentrasi saat belajar [dengan membuat orang berkhayal]. Di sinilah musik berfungsi, yaitu merangsang otak kanan sehingga tidak mengganggu kinerja otak kiri.
Penggunaan unsur estetika, khususnya musik ini, kata dia, diperlukan karena sebagian besar komunikasi, mulai pendidikan, bisnis, sampai sains, diungkapkan secara verbal atau tertulis yang merupakan spesialisasi kemampuan otak kiri.
"Untuk menyeimbangkan kecenderungan masyarakat yang terlalu mengutamakan penggunaan otak kiri inilah yang mendasari perlunya penggunaan unsur estetika dalam pengalaman belajar, selain memberikan umpan balik positif pada diri anak didik."
Semua itu, lanjut Bobbi, menimbulkan siklus emosi positif-kekuatan otak-keberhasilan-kehormatan diri, "Siklus aktif ini akan dapat mengangkat Anda lebih tinggi dan lebih tinggi lagi." Apalagi, kata dia, hal pertama yang dilakukan adalah mempelajari keterampilan belajar mendasar seperti cara mencatat, menghafal, dan membaca cepat.
Sumber :
Rab A. Broto.  Penulis dan  Editor.http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=270&page=3 .09 Mei 2003
03 Maret 2009
Sumber Gambar:
http://supersuga.files.wordpress.com/2008/03/peta-sukses-belajar.jpg






  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar